Kedua orang tua F tak pernah menghiraukan keberadaan anaknya. Yang
mereka tahu, bila tidak pulang ke rumah berarti anak ini tidur di
pinggir jalan. Pergaulan F pun terbilang luar biasa. Di usia semuda itu
ia sudah sering berganti-ganti pacar. Bahkan meraba-raba badan
pasangan menjadi hal yang biasa baginya. Kami sempat melihat komunikasi
anak ini dengan pacarnya. Bila sang pacar meledek F, anak ini tak
segan-segan menempeleng kepala sang pacar. Begitu pula sebaliknya. Sang
pacar sering menjambak rambut F. Menurut F, orang tuanya memang sering
tak peduli pada anak. Ketidakpedulian mereka bahkan telah merenggut
nyawa dua orang adiknya. Peristiwanya bermula ketika sang ibu sering
membawa adik F yang nomor dua berjulalan di pinggir jalan. Alasannya
klise, di rumah tidak ada yang menjaga sang anak.
Suatu hari dada si anak sesak dan sulit bernapas. Ketika dibawa ke
rumah sakit, si anak dinyatakan mengalami gangguan pernapasan akut dan
sulit disembuhkan. Penyebab utamanya adalah polusi karena terlalu
sering mengisap debu dan asap knalpot. Nyawa si anak tak bisa tertolong
dan F pun kehilangan satu adiknya. Bukannya kapok, sang ibu kembali
membawa anak berjualan di pinggir jalan. Kali ini yang dibawa adalah
anak ketiganya. Hanya selang satu tahun, anak ini juga meninggal. Namun
sang ibu selalu mengelak kalau anaknya itu meninggal karena gangguan
pernapasan akibat polusi. Menurutnya, kedua anaknya itu meninggal
akibat salah minum obat.
Tak jauh berbeda dengan kehidupan F, Aris (bukan nama sebenarnya) juga
harus mencari uang di jalanan. Padahal sang ayah, M masih mampu
mencarikan biaya untuk anak laki-laki berusia 8 tahun ini. M adalah
penjual kerupuk keliling di sekitar Jakarta Timur. Penghasilannya per
hari kurang lebih Rp50 ribu. Artinya dalam sebulan M bisa mengantongi
penghasilan kurang lebih Rp1,5 juta per bulan. Kondisi keuangan yang
cukup baik ini tidak lantas membuat Aris senang. Ia sama seperti
anak-anak yang lain, wajib mengemis di jalanan. Bukan semata-mata
karena butuh, tapi karena disuruh orang tua. Setiap hari, dari pagi
sampai malam, ia harus mengemis di sekitar Jakarta Timur. Bila sekali
saja tidak mencari uang, ayahnya akan memukuli Aris. Akibat terlalu
sering dipukul oleh sang ayah, telinga sebelah kanannya tidak bisa
berfungsi lagi. Sangat menyedihkan.
Sifat kasar sang ayah mulai muncul sejak Aris berusia 4 tahun. Saat itu
M bercerai dengan istrinya gara-gara sang istri berselingkuh. Ia marah
dan kesal. Semua emosi itu ia lampiaskan kepada Aris. Saat marah ia
bisa berubah seperti orang kesurupan. Semua benda yang ada di
sampingnya hancur berantakan. Pernah suatu ketika M tengah makan nasi
hangat. Aris yang tengah bangun tidur tiba-tiba menangis. Berulang
kali M menyuruh anak itu untuk diam tapi tak bisa. Aris malah semakin
kencang menangis. Kesal mendengar hal itu, M pun melempar piring
beserta nasi hangat itu ke pipi Aris. Anak itu pun pingsan dan pipinya
melepuh.
Saat M menceritakan peristiwa ini, M menyuruh Aris menunjukkan
bekas-bekas luka itu. Anehnya, M malah bangga karena telah berhasil
membuat anak satu-satunya itu takut kepadanya. Sambil tertawa
terbahak-bahak, M mempertontonkan kepada kami luka anaknya itu. Tak
hanya kekerasan fisik, M juga sering mengajak anaknya ini ke tempat
prostitusi di daerah Jatinegara.
Di tempat maksiat itu, Aris disuruh menunggu di luar, sementara M asyik
berhubungan intim dengan wanita lain di dalam tenda. “Saya mau
mengajar anak ini untuk berani,” begitu alasan M saat mengajak anaknya
datang ke tempat prostitusi. Tak jauh berbeda dengan cerita Aris,
lelaki bernama R juga menjadi korban kekerasan. Bedanya R adalah korban
kekerasan seksual. Semenjak dibuang oleh orang tuanya, R harus
berjuang menyambung hidup di jalan. Semenjak usia 7 tahun ia sudah
mengemis di jalan. Namun sayang, ada orang-orang usil kepada anak ini.
Setiap hari ia selalu menjadi pelampiasan nafsu laki-laki bejat. Ia
juga beberapa kali pernah (maaf) disodomi. Kini R berperilaku seperti
perempuan. Di usianya yang baru 13 tahun, R sering dipanggil banci
oleh orang-orang sekitarnya. Kepalang basah, akhirnya R pun menganggap
dirinya sebagai perempuan. Setiap hari ia selalu memakai celana yang
berukuran pas dengan kaki. Rambutnya panjang sebahu. Tak lupa ia juga
acap memakai bedak dan lipstik.
Begitulah penampilan R saat turun ke jalan untuk mengemis dan mengamen.
Diam-diam seorang induk semang pelacur memperhatikan tingkah laku R
ini. Suatu hari ia diculik dan dibawa ke satu tempat. Di ruangan
berukuran 3 x 3 meter sudah menunggu seorang laki-laki berbadan tegap. R
kaget dan tak tahu harus berbuat apa. Laki-laki itu memaksa anak ini
melayani dirinya. Baru selesai laki-laki pertama, masuk lelaki kedua.
Setelah itu masuk lagi yang ketiga, keempat, hingga ketujuh. R diancam.
Kalau tidak mau melayani ketujuh lelaki itu, ia akan disiksa. Akhirnya
anak ini pasrah dan menerima saja. Kondisi mengenaskan ini bukan
cerita fiksi atau karangan. Inilah realita yang terjadi pada sebagian
pengamen dan pengemis anak di ibu kota.
Rencananya, untuk mengurangi anak-anak jalanan seperti cerita di atas,
para LSM akan bahu-membahu dengan pemerintah agar jumlah mereka
berkurang. Targetnya, menurut Endang, pada tahun 2014 sudah tidak ada
lagi anak-anak jalanan di ibu kota. “Semua orang harus mendukung
program ini. Minimal sadarkan kepada mereka bahwa jalanan bukanlah
dunia untuk anak-anak. Mereka berhak mendapat kehidupan yang lebih
baik. Mereka berhak bermain dan bukan disiksa atau dipaksa mencari
uang di jalanan,” tutupnya tegas.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar