Seperti yang mungkin sudah diduga banyak orang, para pengemis dan
pengamen anak ini sudah melupakan pendidikan. Sebenarnya ada kesempatan
untuk sekolah, tapi kemauan mereka yang sudah lenyap. Ketua LSM
(lembaga swadaya masyarakat) SWARA, Endang Mintarja, yang bergiat untuk
anak-anak jalanan di sekitar Jakarta Timur menyebut kondisi ini
sebagai titik “aman” orang tua.
Maksudnya, orang tua memang sengaja membiarkan anak-anaknya mengemis
dan mengamen di jalanan. “Kenapa dibiarkan? Karena mereka juga
mengambil keuntungan dari situ,” katanya. Lalu mengenai pendidikan,
beberapa tahun ke belakang Endang dan beberapa timnya memberikan
kesempatan kepada anak-anak ini untuk sekolah. Masalah biaya SWARA
akan berusaha membantu.
Namun kenyataannya tak banyak orang tua dan anak-anak yang tertarik
dengan program ini. Mereka lebih senang di jalanan ketimbang harus
duduk dan belajar di sekolah. Endang bahkan sudah mengalokasikan uang
bagi anak-anak yang mau belajar. Misalnya, setiap hari Jumat dan Sabtu
SWARA mengundang anak-anak jalanan untuk belajar di kantor SWARA di
bilangan Prumpung. Bagi anak yang hadir akan diberikan uang sebesar
Rp10 ribu. “Uang itu hitung-hitung sebagai ganti rugi mereka mengamen
dan mengemis,” tuturnya.
Ternyata cara ini pun tidak lantas membuat anak-anak tertarik untuk
belajar. Ketika Sekar mengikuti kegiatan belajar ini, mayoritas dari
mereka malah asyik bersenda-gurau. Misalnya ketika salah seorang guru
menjelaskan tentang fungsi RW (rukun warga), tiba-tiba seorang anak
langsung berteriak, “Rukun Warga tidak ada fungsinya karena masyarakat
selalu berkelahi.” Jawaban itu langsung diikuti gelak tawa
teman-temannya.
Begitu pula ketika mereka disuruh membacakan Pancasila. Seorang anak
dengan cepat langsung mengacungkan tangannya dan berdiri di antara
anak-anak lainnya. “Pancasila! Satu, Ketuhanan yang Maha Esa. Dua, mari
mengamen sama-sama,” kata anak itu sambil tertawa terbahak-bahak. Tak
ayal sang guru hanya menggeleng-gelengkan kepala. Anak-anak itu
benar-benar liar dan susah diatur.
Dari 105 jumlah anak-anak jalanan di sekitar Prumpung, hanya
setengahnya yang mau ikut belajar. Itu pun mereka harus dipaksa dan
diming-imingi uang. Melalui program belajar inilah kami bisa berkenalan
dengan F, gadis berusia 13 tahun. Di usia setua itu F masih duduk di
bangku kelas 3 SD. Terkadang ia malu dengan teman-temannya yang lain
karena badannya paling besar. “Harusnya kan saya sudah SMP,” katanya
sedih.
Keinginan F untuk belajar tidak datang secara tiba-tiba. Sebelumnya
beberapa kali ia ditawari oleh tim dari SWARA untuk mendaftar sekolah,
tapi tidak mau. Ia memilih untuk terus mengamen di jalanan. F tinggal
di sebuah rumah petak di sekitar Prumpung bersama kedua orang tua dan
tiga adiknya. Ayah dan ibunya adalah pedagang asongan di sekitar
Jatinegara. Barang yang dijual bermacam-macam, mulai dari rokok,
minuman, atau apa saja. Yang penting laku dijual.
Pendapatan bersih rata-rata kedua orang tua F hanya Rp20 ribu sehari.
Uang itu harus digunakan untuk membayar sewa rumah petak seharga Rp200
ribu per bulan. Rumah itu jauh dari kesan nyaman. Ruangan yang hanya
berukuran 3 x 3 meter itu digunakan untuk tidur, masak, dan tempat
berkumpul. Kamar mandinya berukuran 1 x 1 meter, namun pintu untuk
menutup kamar mandi hanya papan tripleks yang disandarkan. Bila akan
menggunakan kamar mandi, kayu tripleks harus diangkat untuk menutup
pintu. Jika sewaktu-waktu angin kencang bertiup, papan tripleks bisa
terjatuh. Itu belum seberapa. Bila salah satu anggota keluarga F sedang
buang air besar, baunya akan “terbang” ke sekeliling ruangan.
Sebagian besar pendapatan kedua orang tua F dari berjualan di pinggir
jalan habis untuk membayar kontrak*an ala kadarnya ini. Uang yang
tersisa mereka pergunakan untuk makan sehari-hari. Tentu saja tidak
cukup. Itulah alasan sang ibu menyuruh F mencari uang di jalanan.
Caranya? Ya, terserah. Mau mengamen atau mengemis, sang ibu tidak akan
keberatan.
Malah ketika F berusia 3 tahun, sang ibu sudah membawanya berjualan di
pinggir jalan sambil digendong-gendong. Tak peduli debu, terik
matahari, dan hujan. Ketika sudah berusia 7 tahun, barulah F disuruh
mencari uang sendiri. Setiap hari anak ini bisa mengantongi uang Rp10
ribu sampai Rp20 ribu dari mengamen dan mengemis. Untuk mengamen tak
diperlukan keahlian apa pun. Cukup menyanyi dan bertepuk tangan,
jadilah sebuah nyanyian. “Tak perlu merdu, yang penting memelas,”
kata F sambil tersenyum. Uang yang ia dapat sebagian diberikan kepada
orang tua. Sedangkan sebagian lagi digunakan untuk membeli aksesori,
seperti gelang dan kalung.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar