HUTAN masyarakat adat Dayak Punah yang masuk ‘kawasan’ PT Intracawood di
Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur (Kaltim) seluas 23.139 hektare
(ha). PT Intracawood, sudah menggarap dan mengambil kayu diperkirakan 15
ribu ha.
Kini, masyarakat adat harap-harap cemas. Perusahaan mau masuk lagi
dan menggarap hutan yang masih tersisa. Masyarakat Punan tidak mau.
“Masyarakat
adat tak mau. Kembalikan hutan adat kami. Kembalikan tanah adat kami.
Semua. Yang sudah digarap maupun yang belum,” kata Anggota Komunitas
Adat Dayak Punan, Kaharuddin kepada Mongabay, akhir Juni 2012.
Kaharuddin
juga kepala Desa Punan Dalau. Dia mengatakan, masyarakat ingin lahan
dan hutan mereka kembali. “Tolonglah pemerintah, perhatikan kami. Kami
perlu bantuan…”
Warga sudah seringkali berusaha berkomunikasi
dengan perusahaan, tetapi upaya itu seakan tak dihiraukan pihak bermodal
besar ini. “Mereka menyalahkan pemerintah desa. Mereka anggap
pemerintah tak bisa fasilitasi masyarakat.”
Menurut Kaharuddin, Maret lalu telah melaporkan sengketa lahan adat ini ke pemda provinsi. Lagi-lagi belum ada hasil.
“Juni
ini kami didatangi Dinas Kehutanan Kabupaten Bulungan. Katanya mereka
mau datang ke Bunan Dulau dan Ujang. Karena sudah diberitahu. Jadi
ditunggu. Namun kedatangan mereka tak memuaskan.”
Mengapa? “Karena
sepertinya mereka cenderung membela perusahaan. Kedatangan bukan duduk
sebagai pemerintah. Mereka datangi dulu ke Tarakan, kantor perusahaan.
Setelah dari Tarakan, mereka menginap juga di camp perusahaan. Besar
kecurigaan masyarakat itu, karena tidak menginap di penginapan desa,”
cerita Kaharuddin.
Bahkan, saat turun ke lapangan—menggunakan
mobil dari perusahaan–, ketika warga berniat mengajak utusan Dinas
Kehutanan ke lahan yang bersengketa, sopir berdalih mobil rusak.
“Padahal
di KM 45 itu yang bermasalah dengan masyarakat adat.” Karena tak mau ke
KM 45, Kaharuddin, menawar agar bisa ke KM 41. Lalu ke sana.
“Tidak
lama di sana, lima menit. Bahasa dari dinas, bilang hanya meninjau.
Nanti ditunggu hasil bupati yang beri kebijakan. Setelah itu tak ada
cerita lagi sampai sekarang.”
Untuk itu, Kaharuddin dan masyarakat adat menuntut Pemerintah Kabupaten Bulungan agar menindaklanjuti kasus konflik lahan ini.
Menurut
dia, masyarakat bersedia berembuk, bahkan meminta pemerintah mengajak
perusahaan duduk bersama. “Karena kalau kita yang meminta ke perusahaan,
perusahaan selalu meminta warga yang harus kalah.”
PT.Intracawood
Manufacturing (Intraca) merupakan bagian dari Central Cipta Murdaya
Grup(CCM). Tiga pemegang saham mayoritas intraca yaitu PT. Inhutani I
(24%) PT.Altrac 78(49.5%) dan PT.Berca Indonesia (24.7%). PT Altrac dan
Berca adalah milik CCM grup.
PT. Intracawood didirikan sebagai
bisnis patungan dengan PT Inhutani I. Kegiatan mereka mengelola kawasan
hak pengusahaan hutan (HPH) seluas 226.326 ha. Perusahaan menggunakan
tebang pilih dalam memasok log mentah ke industri kayu lapis Intraca di
Tarakan.
Intracawood mendapat subkontraktor hak konsesi dari PT
Inhutani I tahun 1988 dengan mengantongi izin jangka panjang selama 75
tahun. Setelah operasional dipertanyakan Menteri Kehutanan.
Lalu,
tahun 2003 Menteri Kehutanan mengizinkan kembali beroperasi dengan izin
baru selama 45tahun berdasarkan SK No. 335/Menhut-II/2004 tgl 31 agustus
2004, luas konsesi 195.110 ha. Konsesi ini meliputi tiga kabupaten,
Bulungan, Berau dan Malinau.
Untuk kecamatan Sekatak konsesi PT Intacawood mencakup 23 kampung dihuni warga Dayak Tidung, Punan dan Belusu.
Menurut
hasil laporan hasil tim penelitian SmartWood tahun 2006, pertengahan
tahun 2002 – hingga pertengahan 2003, penyelesaian konflik dengan
masyarakat setempat dengan mengeluarkan 30.000 ha berdasarkan klaim
masyarakat.
Pada 25 januari 2003, ditandatanngani nota kesepakatan
untuk mengembangkan penelitian hutan hujan dan program training antara
PT Intracawood Manufacturing, Innoprise Corporation Sdn.Bhd, Sabah,
Malaysia dan Royal Society Southeeast Asia Rainforest Research
Programme, Inggris.
Atas izin pemerintah Indonesia dan Bupati
Bulungan dipilih kawasan hutan primer Intracawood seluas 26,257 ha
terletak dekat dengan kawasan konsesi untuk training dan ekoturisme.
Pada
2004 dalam SK hak pengusahaan hutan (HPH) ditandatangani Menteri
Kehutanan disebutkan ekplisit perpaduan HCVF dalam pengelolaan hutan
produksi.
Namun nota kesepahaman Royal Society Southeast Asia
Rainforest Research Programme ditunda. Lembaga ini menunda bekerja sama
dengan perusahaan yang tidak bersertifikat akibat dari tekanan Forest
People Programme.
Margaretha Seting Beraan, pimpinan Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim, mengatakan, kenyataan, kawasan
yang ditetapkan oleh PT Intraca sebagai kawasan konservasi itu bukan
hutan primer. Namun, kawasan pemukiman dan wilayah jelajah warga Dayak
Punan dan Belusu.
Penetapan kawasan itu, tanpa persetujuan dan
komunikasi dengan warga pemilik kawasan. PT Intracawood mengabaikan
prinsip-prinsip Free, prior and informed consent (FPIC) yang menjadi
dasar penetapan kawasan HCVF ini.
Malah, masyarakat dilarang
berburu, berladang dan merambah kawasan mereka sendiri. Pada tahun 2011
didirikan pos-pos penjagaan dalam kawasan itu untuk mengontrol keluar
masuk warga.
Selama operasi dari 1988, beberapa persengketaan
tenjadi antar masyarakat dengan perusahaan. Diakhiri
perjanjian-perjanjian yang kebanyakan diingkari perusahaan.
Warga
Punan dan Belusu merasa dibatasi di atas tanah sendiri. Pada 13 Maret
lalu, dalam pertemuan dengan komisi II DPRD Kaltim, warga Punan dan
Belusu menyampaikan beberapa tuntutan.
Pertama, pemerintah
mencabut izin HPH PT Itracawood. Kedua, meminta pemerintah mengeluarkan
kawasan masyarakat dari wilayah HCVF yang didirikan diatas tanah kas
desa dan kawasan rambah masyarakat Punan dan Belusu di Kecamatan
Sekatak.
Ketiga, pemerintah dan DPRD membentuk pansus penyelesaian
agraria khusus dalam yang terjadi di wilayah masyarakat adat di Kaltim.
Permintaan masyarakat ini seakan berhembus bersama angin alias belum ada tindaklanjut yang berarti.
Saat
ini, kata Kaharuddin, malah banyak warga terkena tuduhan illegal
logging. “Mereka dianggap bersalah mengambil kayu di tempat yang biasa
sejak dulu.”
Sekitar 17 warga dipolisikan, bahkan ada yang
dipenjara dua kali. “Ini baru orang, belum kerugian seperti mesin yang
dilenyapkan. Mesin katanya jadi barang bukti. Kasian kondisi
masyarakat.”
“Tolong. Mohon pada pemerintah, nasib masyarakat adat Kecamatan Sekatak. Mereka jadi korban.”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar